Langsung ke konten utama

Shalat Tarawih 11 ataukah 23?

Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, wa ba’du,

Hampir semua ulama mengatakan, tidak ada batas maksimal untuk jumlah rakaat shalat tarawih.
Diantara dalil yang menunjukkan tidak ada batas untuk jumlah rakaat shalat tarawih adalah hadis dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma,
Ada seorang sahabat yang bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengenai tata cara shalat lail. Kemudian beliau menjelaskan,
صَلاَةُ اللَّيْلِ مَثْنَى مَثْنَى ، فَإِذَا خَشِىَ أَحَدُكُمُ الصُّبْحَ صَلَّى رَكْعَةً وَاحِدَةً ، تُوتِرُ لَهُ مَا قَدْ صَلَّى
“Shalat malam itu dua raka’at-dua raka’at. Jika kalian takut masuk waktu shubuh, maka kerjakanlah satu raka’at, untuk menjadi witir bagi shalat-shalat sebelumnya.” (HR. Bukhari 990 dan Muslim 749)
Hadis ini bersifat umum, mencakup shalat malam yang dikerjakan di luar ramadhan maupun ketika ramadhan.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan tata cara pelaksanaan shalat malam untuk dikerjakan 2 rakaat-2 rakaat. Dan beliau tidak menyebutkan batasan jumlah rakaatnya. Beliau hanya memberi batasan,
“Jika kalian takut masuk waktu shubuh, maka kerjakanlah satu raka’at, untuk menjadi witir bagi shalat-shalat sebelumnya.”
Seandainya shalat malam itu ada batasannya, tentu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam akan menjelaskannya.
Ibnu ‘Abdil Barr – ulama Malikiyah – mengatakan,
أن صلاة الليل ليس فيها حد محدود وأنها نافلة وفعل خير وعمل بر فمن شاء استقل ومن شاء استكثر
“Bahwa shalat malam tidak memiliki batasan jumlah raka’at tertentu. Shalat malam adalah shalat sunah, amal soleh dan perbuatan baik. Siapa saja boleh mengerjakan dengan jumlah raka’at sedikit, dan siapa yang mau, bisa mengerjakan dengan banyak rakaat.”(at-Tamhid  Syarh al-Muwatha’, 21/70)

Tidak Lebih dari 13 Rakaat

A’isyah pernah ditanya oleh murid-muridnya tentang bagaimana cara Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat malam. Jawab A’isyah radhiyallahu ‘anha,
مَا كَانَ يَزِيدُ فِى رَمَضَانَ وَلاَ غَيْرِهِ عَلَى إِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً
Beliau tidak pernah nambahi lebih dari 11 rakaat, baik di dalam ramadhan maupun di luar ramadhan. (HR. Bukhari 3569)
Dalam riwayat lain, A’isyah mengatakan,
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يُصَلِّى مِنَ اللَّيْلِ ثَلاَثَ عَشْرَةَ رَكْعَةً
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan shalat malam sebanyak 13 rakaat. (HR. Abu Daud 1340)
Para ulama memahami, hadis ini bukanlah pembatasan. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah melarang lebih dari 13. Yang diceritakan Aisyah adalah kebiasaan jumlah rakaat shalat lail yang dikerjakan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan,
أن نفس قيام رمضان لم يوقت النبي صلى الله عليه وسلم فيه عددا معينا ؛ بل كان هو – صلى الله عليه وسلم – لا يزيد في رمضان ولا غيره على ثلاث عشرة ركعة لكن كان يطيل الركعات
“Bahwa shalat malam di bulan Ramadhan tidaklah dibatasi oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan bilangan tertentu. Namun yang dilakukan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah beliau tidak menambah di bulan Ramadhan atau bulan lainnya lebih dari 13 raka’at, akan tetapi beliau memperpanjang rakaatnya.… Barangsiapa yang mengira bahwa shalat malam di bulan Ramadhan memiliki bilangan raka’at tertentu yang ditetapkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, tidak boleh ditambahi atau dikurangi dari jumlah raka’at yang beliau lakukan, sungguh dia telah keliru.”(Majmu’ al-Fatawa, 22/272).
Kemudian beliau menyebutkan, bahwa dulu ada yang shalat tarawih 40 rakaat dan witir dengan 3 rakaat. Ada juga yang tarawih 36 rakaat dan witir dengan 3 rakaat. Semuanya dibolehkan.

Yang Lebih Afdhal, 11 atau 23?

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan,
“Tatkala ‘Umar mengumpulkan manusia dan Ubay bin Ka’ab sebagai imam, dia melakukan shalat sebanyak 20 raka’at kemudian melaksanakan witir sebanyak tiga raka’at. Namun ketika itu bacaan setiap raka’at lebih ringan dengan diganti raka’at yang ditambahkan. Karena melakukan semacam ini lebih ringan bagi makmum daripada melakukan satu raka’at dengan bacaan yang begitu panjang.” (Majmu’ al-Fatawa, 22/272)
Praktek di atas menunjukkan bahwa jumlah bukan acuan utama penilaian. Karena ini kembali kepada mana yang lebih berkualitas. Allah Ta’ala berfirman,
الَّذِي خَلَقَ الْمَوْتَ وَالْحَيَاةَ لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلًا
“Dialah yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya.” (QS. al-Mulk: 2)
Salah satu diantara faktor yang menentukan kualitas adalah kekhusyu-an. dan salah satu faktornya adalah kondisi makmum. Karena itu, Syaikhul Islam menyimpulkan, yang paling afdhal adalah menyesuaikan kondisi makmum. Beliau mengatakan,
والأفضل يختلف باختلاف أحوال المصلين فإن كان فيهم احتمال لطول القيام فالقيام بعشر ركعات وثلاث بعدها . كما كان النبي صلى الله عليه وسلم يصلي لنفسه في رمضان وغيره هو الأفضل وإن كانوا لا يحتملونه فالقيام بعشرين هو الأفضل
Yang paling afdhal, berbeda-beda sesuai kondisi orang yang shalat. Jika mereka bisa diajak berdiri lama, maka tarawih dengan 10 rakaat dan 3 rakaat setelahnya lebih bagus. Seperti yang dilakukan sendiri oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika di bulan ramadhan dan di luar ramadhan. Namun jika mereka tidak kuat berdiri lama, tarawih 20 rakaat lebih afdhal. (Majmu’ al-Fatawa, 22/272)
Sayangnya, banyak praktek yang kurang maksimal di tempat kita. Sebagian masjid yang tarawih 23 rakaat, sangat tidak thumakninah. Bahkan ada yang selesainya kurang dari setengah jam. Sementara mereka yang shalat 11 rakaat, selesai selama setengah jam. Masalah jumlah, jangan sampai mengorbankan kualitas. Karena thumakninah bagian dari rukun shalat.
Allahu a’lam.
Dijawab oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina Konsultasisyariah.com)



Read more https://konsultasisyariah.com/27923-tarawih-11-ataukah-23-rakaat.html

Postingan populer dari blog ini

Kapankah Waktu Qailullah (Tidur Siang) itu?

Manjanik(dot)net – Afwan mau tanya ustadz, yang di maksud tidur siang  atau yang biasa disebut Qailullah itu sebenarnya waktunya kapan ya..? Ini ada yang berpendapat sebelum Dzuhur, dan ada yang berpendapat setelah Dzuhur.. Mohon penjelasannya disertai hujahnya yaa.. [Hamba Allah di Surabaya via WA] Jawaban Ustadz Qutaibah [Pengampu Rubrik Islamiyyah Manjanik] Alhamdulillahi robbil-‘aalamin.. Shalawat serta salam semoga senantiasa tercurah kepada manusia pilihan dan teladan seluruh manusia, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Memang betul terdapat ikhtilaf ulama dalam menafsirkan waktu Qailullah, apakah sebelum Dzuhur atau sesudah Dzuhur atau keduanya. Imam Syarbini rahimahullah berkata, هي النوم قبل الزوال “Tidur sebelum zawal (waktu Dzuhur).” Al-Munawi rahimahullah berkata, القيلولة: النوم وسط النهار عند الزوال وما قاربه من قبل أو بعد “Qailullah adalah tidur di pertengahan siang ketika zawal atau mendekati waktu zawal sebelum atau sesudahnya.” Al-Badri Al-Aini berkata, القيل

Alur dan Biaya Perpanjangan sim wilayah deli serdang

Mungkin info berikut bisa berguna bagi khalayak semua.. Khalayak punya SIM? Surat Ijin Mengemudi loh.. yang bentuknya kartu tapi namanya surat.. beda sama kartu keluarga, bentuknya surat tapi namanya kartu.. weh gak penting banget, wkwkwkwk.. Nah yang perlu diperhatikan adalah bahwa perpanjangan SIM jangan sampai kelewat masa berlakunya karena akan memyebabkan khalayak harus mengambil SIM BARU lagi alias tidak bisa diperpanjang yang artinya khalayak harus ikut ujian tertulis, ujian praktik dan biaya yang lebih banyak daripada biaya perpanjangan SIM. Lalu berapakah biaya perpanjangan SIM? sabar.. Sebelum kesana ada berkas-berkas yang harus khalayak siapkan, apa saja?  simak yang berikut ini : Photokopi KTP 1 lembar KTP asli 1 lembar photokopi SIM 1 lembar SIM asli 1 lembar Map 1 unit Uang asli beberapa lembar  Angkutan, bisa motor, angkot, becak, mobil, sepasang kaki.. terserah yang penting jangan helikopter, pesawat sama kereta api ataupun kapal laut karena gak

Kalau Anda Tahu Sejarah GELAR HAJI, Itu Warisan Penjajah Belanda, Karena TAKUT Pada Orang Yang Baru Pulang Dari SAUDI

“SEJARAH GELAR HAJI DI INDONESIA” berhaji-ke-mekahTahukah anda bahwa gelar tambahan “HAJI” itu hanya terjadi di Indonesia ??? Di Arab Saudi maupun negara belahan dunia manapun ketika seseorang pulang menunaikan ibadah Haji tidak ada yang menambahkan gelar tersebut di depan nama mereka. Bahkan kita tidak pernah memanggil Rosulullah Muhammad Shalallahu ‘alaihi wasallam dengan gelar “Haji Muhammad” atau kepada sahabat-sahabat Rasulullah dengan sebutan “Haji Abubakar Ash-Shiddiq”, “Haji Umar bin Khath-thab”, “Haji Utsman bin Affan” maupun “Haji Ali bin Abi Thalib”. Lalu bagaimana sejarahnya gelar “HAJI” itu bisa muncul di Indonesia…? Pada zaman pendudukan Belanda, banyak pahlawan Indonesia yang menunaikan ibadah Haji (seperti Pangeran Diponegoro, HOS Cokroaminoto, Ki Hajar Dewantara dll.) dan kepulangan mereka dari ibadah Haji banyak membawa perubahan untuk Indonesia, tentunya perubahan ke arah yang lebih baik. Hal ini merisaukan pihak penjajah Belanda. Maka salah